Kamis, 23 Maret 2017

Ibu, Please.. Jangan Bersedih yaa, Kasihan Anakmu..



Ibu, Please.. Jangan Bersedih yaa, Kasihan Anakmu..

Saya tertegun saat melihat sebuah angka yang mewakilkan kejadian depresi paska persalinan di Indonesia. Awalnya saya berpikir, wanita Indonesia yang dikenal penyabar dan tangguh, mampu menanggulangi permasalahan yang berkutat di dalam dirinya sendiri. 

Namun nyatanya tidak begitu. Angkanya hampir menyaingi kejadian depresi yang terjadi di negara-negara barat. Angka kejadian depresi paska persalinan lebih kurang 15-20%, artinya dari 5 perempuan yang beru melahirkan, setidaknya terdapat 1 perempuan yang menderita depresi.

Baca juga: Kalau Anaknya Nakal, Jangan Buru-Buru Marah. Ingatlah Dahulu 10 Hal Ini

Sebut saja Alika. Ia berusia 26 tahun. Alika baru saja melahirkan 4 hari yang lalu. Ia sering sekali menangis ketika suaminya akan berangkat ke kantor. Ia bisa mengamuk ketika diminta untuk mengganti popok bayinya. Ia tampak murung dan tidak berminat bertemu orang lain. Ia kehilangan nafsu makan dan merasakan nyeri di seluruh badan. Suaminya sering mendapatinya murung, tatapan kosong dan menyendiri. Ia pernah berkata pada suaminya bahwa Ia tidak bisa menjadi ibu yang baik.

Ilustrasi di atas merupakan salah satu contoh kejadian depresi pada perempuan yang baru melahirkan. Tingkat keparahannya bermacam-macam. Dari mulai maternity blues yang gejalanya muncul harian hingga mingguan, depresi yang berkepanjangan hingga tahunan, bahkan muncul gejala kekacauan pikiran yang menyebabkan si ibu mengamuk, mencelakai diri bahkan bayinya sendiri.

Gejala yang paling sering ditemukan adalah perasaan sedih, mudah marah, kehilangan minat untuk mengerjakan sesuatu, malas menyusui bayinya, ingin cepat-cepat melalui harinya dan tidak mampu menikmati saat-saat bersama bayinya yang semula diidamkan.

Mengapa ada ibu yang berhasil melewati hari-hari pertamanya menjadi seorang ibu, namun ada juga yang gagal melewatinya. Ternyata banyak sekali faktor yang menjadi faktor resiko.

a. Dukungan sosial (terutama suami dan keluarga)
Dukungan suami yang dimaksud adalah berupa perhatian, komunikasi dan hubungan emosional. Faktor ini menjadi faktor yang paling bermakna untuk memicu seorang ibu yang baru melahirkan menderita depresi.

b. Keadaan ibu dan bayi
Ibu yang mengalami kompilkasi kelahiran (misalnya perdarahan hebat atau infeksi) akan lebih rentan mengalami depresi karena ibu harus tinggal lebih lama di rumah sakit. Begitupun sebaliknya, bayi yang karena kelainan atau kondisi medis tertentu membutuhkan perawatan lebih lama (bayi prematur atau bayi kuning) akan menjadi resiko bagi si ibu untuk mengalami depresi pula.

c. Kesiapan melahirkan bayi dan menjadi ibu
Perempuan yang hamil tidak direncanakan (karena belum menikah atau sudah memiliki banyak anak) akan lebih beresiko mengalami depresi paska persalinan.

d. Faktor hormonal
Walau hormon esterogen, progesteron, dan kortisol menurun drastis dalam kurun waktu 48 jam paska persalinan, namun pengaruh hormon tidak terlalu bermakna pada kejadian depresi paska persalinan. Hal ini karena hampir semua perempuan mengalami perubahan hormonal pada masa nifas.

e. Faktor budaya dan stress
Banyak para ibu yang enggan untuk mengungkapkan perasaan sedihnya karena dianggap akan hilang dengan sendirinya. Para ibu juga merasa kurang mendapat penghargaan melalui statusnya sebagai ibu baru. Para ibu ini akan lebih banyak disibukkan oleh keperluan dan kepentingan calon bayinya ketimbang mempersiapkan segala sesuatu untuk dirinya sendiri.

Baca juga: Buat Para Ayah di Seluruh Dunia, Engkaulah Penyebab Anak Jadi Nakal atau Jadi Sholeh. Ayo SHARE!!!

Lalu mengapa depresi paska persalinan menjadi hal yang amat perlu diperhatikan? Jelas penting. Ibu yang mengalami depresi, terlebih apabila menghambat fungsinya untuk melakukan dan mengurus bayinya, ini menjadi hal yang serius. Bayi tidak diberikan ASI secara optimal karena ibu enggan menyusui. Kebersihan dan kesehatan bayi menjadi diabaikan karena ibu merasa tidak berdaya untuk mengurus bayinya.

Bukan hanya itu, dari segi kejiwaan pun terpengaruh. Komunikasi bayi dilakukan dengan cara menangis, tersenyum, menatap, gerakan tubuh, dan lain-lain. Semua respon ini harus ditanggapi dengan respon yang sesuai, karena bila tidak, bayi akan merasa kecewa, stres bahkan frustasi. Ini akan menjadi dasar terbentuk anak yang merasa tidak aman, menutup diri dan enggan mengekspresikan dirinya. Anak dari ibu yang mengalami depresi paska persalinan dapat mengalami kesulitan pengendalian diri, adaptasi di lingkungan, dan kesulitan konsentrasi sehingga prestasinya tidak optimal.

Apakah ibu yang depresi ibi bisa diobati? Tentu untuk ibu yang mengalama depresi paska persalinan, pemberian obat bukan menjadi hal yang prioritas, bahkan dihindari karena ibu perlu menyusui bayinya. Obat hanya diperlukan bila si ibu sangat gelisah bahkan muncul ide bunuh diri atau membunuh anaknya sendiri. Namun apabila gejala depresi tidak begitu parah, biasanya ibu akan melakukan proses konseling. Proses ini amat tergantung dengan ringan beratnya gejala, kemampuan adaptasi dan juga kekuatan pikiran ibu.

Namun secara keseluruhan, yang paling penting adalah selalu mendampingi si ibu dalam merawat bayinya. Biarkan ibu mendapatkan waktu untuk relaksasi diri untuk berolahraga atau bersosialisai, membantu para ibu untuk mencari penyebab dan solusi di balik masalah depresinya, dan memaksimalkan peran suami dan keluarga agar menjadi supporting system yang kuat bagi ibu.

Ibu diharapkan memiliki waktu istirahat yang cukup. Ibu sebaiknya istirahat ketika bayi beristirahat, sehingga pada saat bayinya terbangun, ibu merasa segar dan siap bermain dan mengurus bayinya kembali. Apabila timbul perasaan-perasaan negatif seperti kesepian, lelah, marah, sebaiknya minta bantuan orang lain yang dipercaya untuk menjaga sementara waktu. Dengan demikian di saat ibu kembali menjumpai bayi, perasaan ibu sudah nyaman dan dapat menyambut komunikasi bayinya dengan hangat.

Hal yang perlu diwaspadai, bukan hanya oleh para ibu baru, namun juga para ayah baru dan keluarga:

1. Apabila setelah melahirkan, sang ibu justru merasa sedih, malas menyusui, enggan mengurus bayi, maka sebaiknya Ibu bercerita pada suami, orangtua atau saudara yang dipercaya.

2. Apabila Ibu merasakan kondisi-kondisi tersebut, maka kemungkinan Ibu mengalami maternity blues atau mungkin juga depresi paska persalinan.

3. Apabila Ibu merasa hal tersebut sudah mengganggu aktivitas, jangan ragu untuk minta bantuan ahli (psikolog atau psikiater).

Yang bisa dilakukan para ayah baru atau keluarga untuk mencegah kejadian depresi paska persalinan:

1. Mendampingi dan ikut terlibat dalam membantu ibu merawat dan mengurus bayinya.

2. Beri pujian dan apresiasi pada ibu baru atas perjuangannya yang amat berat (melahirkan bayi dan mengurusnya). Perhatikan kebutuhan fisik dan juga emosionalnya.

3. Apabila ditemukan tanda-tanda depresi seperti sedih berkepanjangan, terlihat murung dan tidak tertarik pada bayi, segera bawa untuk berkonsultasi dengan para ahli (psikolog atau psikiater)

Depresi mungkin dianggap sebuah hal yang sepele, namun bila tidak diatasi secara memadai, akan berdampak amat fatal bagi ibu, bayi dan juga keluarga.

Mari kita sama-sama menjaga kewarasan para ibu yang baru melahirkan. Karena apabila mereka sehat, bahagia dan berdaya, tak akan diragukan lagi kualitas anak yang dibesarkan olehnya.

Penulis: Pratami Diah Herliani


Referensi: Depresi Paska Persalinan (dr. Sylvia D. Elvira, Sp.KJ Fakultas Kedokteran Indonesia)

Baca juga: Hati-hati!!! Gangguan Psikosomatis Bisa Menyerang Mamah Muda Akibat Kurang Piknik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar