Sebuah meja kayu dengan desain lawas berukuran besar yang ada di depan saya nampak sangat luas karena di atasnya hanya ada segelas teh, satu buah toples berisi bolu emprit dan sebuah buku tulis yang sudah lepas sampulnya. Terdapat coretan-coretan tulisan dan gambar yang dibuat oleh anak kecil di halaman buku paling depan.
Saya duduk di lincak, kursi panjang yang juga berbahan kayu. Jam dinding yang dicantolkan alakadar di salah satu sisi dinding ruang paling depan rumah sederhana tersebut menunjukkan pukul dua lebih seperempat.
Nyaris tidak ada perabotan lain di ruang tamu selain meja dan kursi. Terdapat sebuah ruangan yang bersebelahan dengan ruang tamu, dibatasi dengan sekat triplek bercat biru muda yang telah pudar warnanya. Dari sana terdengar seseorang memanggil. Suaranya yang lemah menandakan dirinya sudah sepuh dan sepertinya sedang terbaring. Orang itu menyebut nama seseorang berulang kali, meminta untuk segera datang ke sumber suara.
“Diunjuk sik, Dik. Sedilit ya, tak ndulang Simbok,” [Diminum dulu (tehnya), Dik. Sebentar ya, saya mau nyuapi Simbok].
Murni, pemilik nama yang dipanggil tadi baru saja membuatkan minum untuk saya. Dengan sedikit tergesa dia membukakan toples lalu mendekatkan ke hadapan saya.
“Ngapunten, sakanane,” [Maaf, (hanya) seadanya].
Katanya sebelum berjalan setengah berlari menuju kamar sebelah.
“Nggih, Mbak,” saya mengiyakan. Entah jawaban saya ini didengarnya atau tidak.
Saya meminta untuk mengobrol di beranda depan usai dia selesai menyuapkan semangkuk bubur untuk Simbok. Supaya Simbok tidak terganggu istirahatnya, begitu alasan saya. Sebenarnya saya memang sedang benar-benar berasalan.
Mbak Murni adalah salah seorang ibu dengan dua anak. Anaknya yang pertama perempuan sudah menginjak usia remaja, sedang adik laki-lakinyanya duduk di bangku SD. Suaminya seorang buruh serabutan.
Suami Mbak Murni ini masih ada hubungan kerabat dengan ibu saya. Nyatanya, saya memang tidak memanggilnya seperti itu. Nama Mbak Murni saya gunakan untuk memudahkan penulisannya saja.
Sedangkan orang yang disebutnya Simbok itu adalah ibu mertuanya. Seorang perempuan berusia tujuh puluh lima tahun yang setahun belakangan menjadi rumatan. Penyakit stroke membuatnya tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Setiap hari Mbak Murni dengan telaten merawat ibu mertuanya itu. Mulai dari menyuapi, memandikan, mencuci pakaiannya, sampai membuang kotorannya.
“Untuk apa ya, Dik?”
Demikian tanyanya begitu saya mengutarakan maksud kedatangan. Saya berusaha menjawab jujur.
“Untuk saya tulis di website, Mbak. Webnya bagus, namanya Tutur Mama. Nanti Mbak Murni boleh baca juga di internet kok.”
Saya merasa tidak begitu yakin apakah Mbak Murni bisa dan akan mengaksesnya. Ketika perempuan itu kemudian tersenyum, sepertinya dia tidak begitu mempermasalahkannya.
Mbak Murni membenarkan letak duduknya. Perlahan memulai ceritanya.
“Dari awal saya sudah ngampet, Dik. Menahan rasa sesak.”
Mbak Murni memulai ceritanya dari sebelum dia menikah. Saat masih pacaran, dia sudah berulang kali diperlakukan kurang menyenangkan dari calon ibu mertuanya. Mulai dari sikap sampai dengan sindiran-sindiran.
Namun pernikahan itu tetap terjadi. Pernikahan tanpa restu. Barangkali memang sudah jodohnya, demikian kata Mbak Murni pasrah.
Pesta pernikahan yang harusnya adalah momen yang bakal diingat seumur hidup oleh Mbak Murni, dirusak keindahanya oleh sikap ibu mertuanya. Tidak ada senyuman dalam foto bersama. Sang ibu mertua pergi meninggalkan acara tanpa alasan yang jelas sebelum acara usai.
Perasaan Mbak Murni kacau. Terlebih setelah menikah dia harus tinggal serumah dengan ibu mertuanya. Suaminya adalah anak yang didapuk untuk menjaga orang tuanya. Kakak iparnya yang sudah berkeluarga hidup terpisah.
Kondisi seperti ini memang tidak bisa ditolak. Kebanyakan pasangan yang mengidealkan kehidupan baru yang benar-benar baru setelah menikah. Tinggal di rumah baru dan hidup mandiri. Mbak Murni termasuk salah satu yang ‘beruntung’ menempati Pondok Mertua (yang tidak) Indah.
Tahun-tahun awal pernikahan yang harusnya bertabur bunga kebahagiaan harus dijalani Mbak Murni dengan penuh kesabaran. Ibu mertuanya adalah orang yang rewel. Apapun yang dilakukan oleh menantunya dianggap sebuah kesalahan. Tidak jarang terucap kata-kata nylekit pedas, membuat kuping sakit dan panas.
Sering dibicarakan dengan buruk di kalangan para tetangga, Mbak Murni jengah. Dia mulai lelah untuk memberikan konfirmasi kemudian terbiasa untuk mengacuhkannya.
Mbak Murni hanya akan menangis jika kejengkelannya benar-benar memuncak. Dia mulai memahami ibu mertuanya itu dalam kemakluman. Menahan sebisa mungkin tangisannya dan tetap berusaha menunjukkan sikap berbaktinya sebagai anak menantu.
“Jengkel sebenarnya, Dik. Saya nangis. Lama-lama saya ndableg, cuek. Seingat saya, sudah tiga atau empat kali dibilang begitu.”
Katanya setelah menirukan ibu mertuanya ketika memakinya dengan sebutan wanita nakal yang kasar dalam bahasa jawa.
Hubungan mertua dengan menantu yang tidak harmonis memang banyak dijumpai. Biasanya akan berakhir ketika di tengah mereka lahir seorang bayi yang lucu.
Sayangnya hal itu tidak dialami oleh Mbak Murni. Setelah anak pertamanya lahir justru perselisihan semakin sering terjadi. Mereka sering berbeda paham tentang pola pengasuhan anak.
Mbak Murni memang terkadang harus menitipkan anak kepada ibu mertuanya ketika dia pergi. Sebagaimana nenek kebanyakan, ibu mertuanya cenderung memanjakan cucu. Memberi jajanan sembarangan, membiarkan nonton televisi berlama-lama.
Untuk hal ini, Mbak Murni lebih berani untuk mendebat. Bagaimanapun perwujudan sayang seorang nenek terhadap cucunya, ia tetap menginginkan untuk mendidik anaknya dengan caranya.
“Suami saya itu anak bungsu, Dik. Sedangkan saya dengan suami itu selisih umurnya hampir sepuluh tahun. Sampeyan bisa bayangkan, seberapa jauh rentang jaman antara saya dengan Simbok?”
Mbak Murni memang menikah di usia masih muda. Hanya beberapa tahun setelah dia lulus dari sekolahnya. Meskipun pendidikannya tidak tinggi, namun dia rajin mengikuti perkembangan informasi. Pola pengasuhan anak sering dia dapat dari majalah tetangganya, televisi, atau mencatat dari paparan orang Puskesmas di Posyandu. Pantas jika dia sering berselisih dengan pemahaman kolot dari ibu mertuanya yang membaca saja tidak lancar.
“Lalu, suami Mbak Murni gimana dalam bersikap?”
“Suami saya itu pendiam, Dik. Dia selalu menenangkan saya ketika saya menangis. Dia juga memberitahu Simbok pelan-pelan. Simbok terkadang bisa menerima. Tapi kalau pas apes ya, justru ikut kena semprot.”
Mbak Murni tertawa pelan, kemudian melanjutkan.
“Dia akan merasa berdosa kalau menyakiti Simbok. Saya bisa mengerti itu. Saya paham betul kehalusan budinya.”
Sudah banyak hal yang dilakukan oleh suami Mbak Murni untuk mencari solusi terbaik. Pernah suatu ketika ruang dapur mereka harus disekat karena seringnya mereka berselisih soal masakan.
Enam belas tahun Mbak Murni bertahan dengan kehidupan yang seperti itu. Nyaris tidak akur dengan mertua. Hanya saat lebaran saja mereka gencatan senjata sementara, itupun hanya akan bertahan selama beberapa hari.
“Tapi ya beginilah sekarang, Dik. Saya dinobatkan sebagai menantu paling gemati. Ketika butuh apa-apa, saya yang pertama dicari. Malah, sering Simbok tidak mau diladeni oleh orang selain saya. Oleh anaknya kandungya sendiri sekalipun.”
Mbak Murni tersipu, matanya berkaca-kaca. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa bangga karena akhirnya berhasil meladeni ibu mertuanya dengan baik, menunjukan rasa baktinya sebagai seorang menantu.
Saya terbawa suasana. Sepertinya ada yang hendak meleleh di sudut mata. Saya segera mengakhiri percakapan.
“Dik, saya boleh nitip?”
Pintanya setelah saya berpamitan.
“Iya, Mbak. Nitip apa?”
“Mengko tulisane didelok ro ibu-ibu to?” [Nanti tulisannya dibaca oleh ibu-ibu kan?].
Saya mengangguk, mengiyakan. Dia lalu menyampaikan pesannya.
“Saya ingin mengucapkan selamat hari ibu untuk ibu-ibu se-Indonesia. Khusus untuk ibu-ibu yang tinggal serumah dengan ibu mertuanya, terlebih yang sering tidak akur dengan ibu mertua, sayangi dan hormati ibu mertua sampeyan, karena dia orang yang bersusah-payah mengandung, melahirkan, membesarkan, dan mendidik anak hingga menjadi seistimewa suami sampeyan. Dari rahimnya lah, orang yang begitu kalian sayangi itu berasal.”
Saya pulang setelah berjanji akan menuliskannya. Dalam perjalanan, cairan haru yang tadinya tertahan akhirnya menetes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar