Sabtu, 15 April 2017

Ingat lagi saat kita memohon rezeki berupa anak pada-Nya. Masihkah kita tega untuk menyakiti si kecil?



Luka Di Hati Anak

Dear Bunda,

Di hari yang sama, saat saya menulis catatan “Sejarah itu Bernama Anak Pertama” ada dua orang wanita yang mengirimi saya pesan. Yang pertama adalah wanita muda lajang, berikutnya adalah wanita yang sudah menikah. Mereka sama-sama bercerita tentang “pahitnya” pengalaman menjadi anak pertama.

Tapi kisah wanita lajang ini..benar-benar membuat saya tersentuh. Saya adalah seorang ibu, dan dari ceritanya, saya jadi merenung, apa saja yang telah saya lakukan pada anak-anak kami selama ini..

Gadis ini mengawali ceritanya, dengan masa kecil yang bisa dibilang kurang bahagia. Entah mengapa, si ibu yang berperangai keras kerap melakukan kekerasan verbal dan non verbal padanya.


“Saya sering dipukul hanya karena masalah sepele. Seperti malas belajar membaca, atau malas mengaji. Pernah gantungan baju mendarat di mata saya, untung lukanya tidak berbekas..” cerita gadis itu, pada saya.
Dan derita Gadis, justru berawal setelah keuangan keluarga membaik, dan lahirlah adik perempuannya. Si adik, menurutnya sangat disayang oleh seluruh keluarga besar, termasuk ayah ibunya. Adik yang cantik dan seperti barbie.

“Adik saya ini cantik sekali.. jauh lah sama saya. Saya ingat, sedih sekali waktu ada saudara yang bilang, ‘hayoo sekarang papa mama diambil adikmu..’ membuat saya benci sama adik. Dia cantik, dia lebih disayang, sedangkan saya selalu dimarahi..”

Gadis kecil pun tumbuh dalam kebencian. Benci terhadap ayah ibu, benci pada kehidupannya, dan terutama: benci pada si adik cantik. Pernah ia lampiaskan kebencian itu dengan membekap sang adik menggunakan bantal. Dan hasilnya, ia dikurung di kamar mandi setelah sebelumnya disiram air dingin dari dalam bak. Tanpa si ibu mau tahu, apa isi di balik hati anak berusia 7 tahun itu; mengapa ia begitu membenci adiknya.

Oh..perih hati ini mengetahui kisah masa kecilnya. Gadis.. pasti lah batin kanak-kanakmu itu penuh tanya dan luka.

Tapi ajaibnya, Gadis berprestasi. Ia bisa masuk ke SMP favorit di kotanya. Tapi sang mama akhirnya memaksa ia untuk masuk ke sekolah swasta elite. Tempat yang akhirnya membuat ia menjadi gadis yang semakin muram.
“Pendapat dan keinginan saya tidak didengar. Mama terus saja memaksa saya masuk ke sekolah borjuis itu. Saya tidak pede bu, saya minder. Teman-teman melihat saya aneh. Teman saya di sana hanyalah satpam dan petugas cleaning service..”

Gadis remaja pun tumbuh menjadi ABG yang kikuk, kurang pergaulan, dan yang paling dramatis: kurang kasih sayang.

Hingga ada seorang guru lelaki, di sekolahnya, yang menurutnya begitu perhatian dan baik. Mungkin kebaikan biasa seorang guru pada murid, namun si Gadis yang haus kasih sayang, mengartikan itu sebagai cinta.
“Saya jatuh cinta pada guru itu. Sampai saya bawa pulang fotonya. Tapi lama-lama mama tahu, dan saya dihardik ‘cilik-cilik mikir lanangan ae.’ –masih kecil mikir cowok melulu- saya sakit hati. Karena cuma guru itu yang jadi semangat saya..”

Apa yang terjadi kemudian?
Gadis terus dan terus saja mencari kasih sayang dari lingkungannya. Puncak kesedihan saya, adalah ketika ia cerita, sudah melepas keperawanannya demi satu kata: dicintai.

“Mungkin saya terlalu lugu waktu itu. Tapi saya selalu senang ketika ada lelaki yang mendekat, dan menyayangi saya. Minta apa saja pasti saya berikan..”

Obrolan saya putus sampai di sini. Saya tidak kuat lagi mendengar cerita berikutnya dari Gadis. Kurang kasih sayang, haus perhatian, seks bebas.. oh sedihnya.. bagaimana jika ia adalah anak saya? Bagaimana saya bisa menjamin anak-anak saya bebas dari dendam masa lalu karena kecerobohan saya; ibunya?

Kita bisa menghardik anak sesuka kita, membandingkan ia dengan saudaranya, mencela kebiasaan buruknya. Tapi kita tidak pernah tahu, bagian mana dari diri kita yang akan diingatnya seumur hidup. Belaian sayang kah? Atau celaan yang menimbulkan luka?

Bercermin dari kisah Gadis, saya jadi sadar bahwa anak tidak butuh ibu yang cerdas dan hebat. Tapi anak kita, jauh lebih membutuhkan ibu yang menerima dia apa adanya.

Ibu yang menerima tampan atau tidak tampannya ia
Ibu yang menerima cantik atau buruk rupanya ia
Ibu yang menerima berapa pun peringkatnya
Ibu yang menerima jalan hidupnya, meski berbeda dari anak lainnya
Mari peluk erat lagi anak-anak kita

Dan terimalah ia apa adanya.
Ingat ingat lagi saat kita memohon rezeki berupa anak pada-Nya
Masihkah kita tega untuk menyakitinya?

Salam cinta anak,
Wulan Darmanto



Sumber : Wulan Darmanto

1 komentar: