Jumat, 24 Maret 2017

Sadarkah Engkau, Wahai Bunda.. Selama Ini Bunda Sekadar Bicara Atau Berdialog Dengan Anak..



BERDIALOGLAH DENGAN ANAK, BUKAN SEKADAR BICARA


Berapa kali Bunda berdialog dengan anak..? Berdialog yaa, bukan hanya sekadar bicara kepada anak. 

Dialog itu dua arah, bukan satu arah. Bukan semata Bunda yang ngomong mulu sama anak, tapi Bunda juga mendengarkan perkataan anak.. 


Sudahkah orang tua membudayakan dialog? Atau sebagai orang tua kita hanya mau didengarkan anak saja? Tapi tidak mau mendengar curhatan anak. Tidak mau dengar perkataan anak. 

Baca juga: Jangan Merendahkan Seorang Ibu Rumah Tangga. Baca Ini, Biar Tahu Betapa Rempongnya Ibu Rumah Tangga..

Tiap kali anak mau ngomong, dengan entengnya kita jawab, “Ah, kamu anak kecil tahu apa…” 

Tahukah Bunda, bahwa berdialog itu membuat kita lebih mengetahui perasaan anak sesunggunya dan pada saat yang sama anak merasa lebih diterima. Ini saya kutip dari tulisan Moh. Fauzil Adhim lho, seorang pakar parenting. 

Berdialog, katanya, bisa membuat kita menyelami perasaan dan pikiran anak. Berdialog yaitu mengajak berbicara dari hati ke hati, pikiran terbuka dan perasaan lapang. Kita dengarkan pembicaraan anak, memberikan umpan balik kepadanya, dan bila diperlukan kita pun dapat menyampaikan apa yang kita pikirkan tentang dia.

Baca juga: Ternyata Anak yang Percaya Diri Itu Berasal Dari Ucapan Ibu Kepadanya. Kok Bisa? 

Fauzil Adhim dengan tegas menyatakan bahwa dialog inilah yang patut dilakukan jika menginginkan anak memiliki sikap hormat (respek) kepada orangtua. Merasa didengarkan dan dihargai justru menjadikan anak lebih tumbuh dorongan untuk respek dan dekat hatinya dengan orangtua.

“Sebaliknya, cara-cara yang menjatuhkan harga diri justru membuat anak kehilangan rasa hormat kepada orangtua. Bahkan dapat terjadi, anak mengembangkan pemberontakan dalam berbagai bentuknya. Boleh jadi ia menunjukkan ketaatan di depan orangtua, tetapi memberontak meledak-ledak di luar rumah. Ini ketika anak takut kepada orangtua. Dan sangat berbeda antara takut dan respek. Yang kedua ini mendorong anak tetap melakukan hal yang baik, meskipun orangtua tidak melihatnya,” tulisnya dalam status media sosial. 

Apakah kita mau menjadi orang tua yang hanya bisa ditakuti oleh anak? 

Tiap kali anak di rumah, ia hanya takut pada ayah ibunya. Maka saat ia beranjak dewasa, ia akan berpikir, “ngapain pulang? Di rumah capek ah dimarahin mulu.” 

Begitulah Bunda.. 

Atau yang lebih “halus,” anak takut mengutarakan perasannya karena jarang diajak berdialog. Anak hanya disuruh mendengarkan saja, tanpa pernah diberi kesempatan untuk bicara. 

Ini juga bahaya… 

Boleh jadi ketika kita selaku orangtua menjatuhkan harga diri anak, kata Fauzil Adhim, ia tidak memiliki keberanian untuk menyuarakan perasaannya kepada kita. Atau ia sebenarnya cukup terbuka untuk mengungkapkan gagasannya. Tetapi ketika orangtua menanggapinya dengan mengedepankan kuasa, anak tidak punya pilihan selain taat. Dan ini bukanlah ketaatan yang baik. Di saat kecil merunduk kepada orangtua karena takut, tetapi ketika mulai beranjak besar anak mulai unjuk keberanian. Tak ada lagi perkataan orangtua yang ditaati.

Buatlah anak respek pada orang tua, pada ayah ibunya. Bukan karena takut, tapi karena ia menghormati dan menyayangi. 

Lakukan hal itu sedini mungkin, maka kelak saat ia dewasa ia bakal hormat dan taat pada orang tua. 

Baca juga: Terungkap!! Dahsyatnya Efek Pelukan Bagi Anak yang Tak Banyak Disadari Oleh Ibu.

Bagaimana caranya? Berdialoglah pada anak. 


Akhir kata, ingatlah pesan pakar parenting ini, “berusahalah memahami perasaan dan pikiran anak, mendengarkannya dan memberikan umpan balik kepada anak. Kita tidak akan tahu dalam dan luasnya sungai kecuali apabila kita telah menyeberanginya. Cara untuk menyeberangi itu adalah berdialog. Bukan menjadi orangtua yang sok tahu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar